Revitalisasi Aparatur KPPU Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
![]() |
Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH. |
Jakarta, Info Breakingnews - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagaimana keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) - merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden. Status kelembagan KPPU ini memperoleh penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XIV/2016 tanggal 20 September 2017, yang menyatakan bahwa KPPU adalah lembaga negara yang bersifat state auxiliary organ yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok, sehingga KPPU merupakan bagian dari lembaga negara utama di ranah eksekutif. Lebih lanjut dalam Putusan MK tersebut ditegaskan pula: bahwa “lembaga KPPU adalah lembaga penegak hukum dalam ranah hukum administrasi”.
Berdasarkan tugas dan wewenang yang diamanatkan dalam UU No. 5/1999, KPPU mengemban peran yang sangat strategis sebagai lembaga peradilan persaingan usaha, pengawas kegiatan merger, dan akuisisi perusahaan, serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, KPPU berperan juga sebagai alat kontrol untuk meluruskan kebijakan pemerintah pusat dan daerah agar sesuai dengan visi dan misi Presiden dalam mewujudkan reformasi di bidang ekonomi dan keberpihakan nyata kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan demikian, secara kelembagaan KPPU sebagai state auxiliary organ melaksanakan fungsi campuran (mix – function) antara fungsi administratif dan fungsi (quasi) judisial. Walaupun bersifat quasi, namun fungsi KPPU yang menjalankan kekuasaan kehakiman (atau peradilan) adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”
Sejak tahun 2013 KPPU mendapat amanat tambahan, yakni melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pengawasan pelaksanaan kemitraan antara UMKM dengan perusahaan besar meliputi pengawasan pelaksanaan kemitraan dan pengenaan sanksi administrasi bagi penyelenggara kemitraan yang melanggar prinsip-prinsip kemitraan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Amanat ini merupakan perwujudan penyelenggaraan demokrasi di bidang ekonomi, yakni menjamin praktek perekonomian yang berkeadilan yang merupakan cita-cita dari nilai-nilai Pancasila yakni ekonomi gotong royong menuju kesejahteraan rakyat.
Demokrasi Ekonomi
Para pendiri bangsa, sejak awal berdirinya negara ini telah menempatkan demokrasi ekonomi sebagai fondasi dalam membangun perekonomian negara. Sejarah kelamPengalaman buruk krisis moneter tahun 1998 yang meruntuhkan menihilkan hasil pembangunan perekonomian negara berpuluh-puluh tahun, telah memberi pelajaran yang sangat berharga hingga mendorong lahirnya Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Lahirnya Tap MPR ini dilatarbelakangi oleh pelaksanaan amanat Demokrasi Ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945 yang belum terwujud. Sejalan dengan perkembangan, kebutuhan, dan tantangan pembangunan nasional, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dukungan dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional (konsideran: Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR-RI/1998).
UMKM sebagai bagian integral ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Selanjutnya dalam Pasal 5 TAP MPR RI tersebut ditetapkan bahwa “usaha kecil menengah dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama dukungan, perlindungan, dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara. Kebijakan tersebut selaras dengan fakta dilapangan, yang secara empiris telah membuktikan bahwa UMKM dapat bertahan dalam kondisi krisis dan bahkan menjadi garda terdepan penyelamatan/pemulihan ekonomi nasional.
Peran KPPU Dalam Mengawal Demorasi Ekonomi
Kebijakan Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagai fondasi pembangunan ekonom begitu juga perwujudan sikap keberpihakan nyata kepada koperasi dan UMKM sebagai pilar ekonomi kerakyatan, tampak jelas tergambar dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan , untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja. Dalam amanat UU ini, KPPU diberi peran yang sangat strategis yang diatur dalam dua Peraturan Pemerintah (PP), yaitu : PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta PP No. 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal iniKedua PP tersebut mencerminkan kepercayaan pemerintah terhadap peran KPPU dalam mengawal pelaksanaan Undang-Undang tersebut, yang merupakan sikap politik ekonomi yang berlandaskan demokrasi ekonomi, sekaligus menegaskan posisi dan peran KPPU sebagai bagian dari pemerintah. Secara detail Kedua kedua peraturan pemerintah tersebut yaknimengatur hal-hal sbb:
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ketentuan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta ketentuan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di mana KPPU diberi tugas melaksanakan Pengawasan Kemitraan. Peraturan Pemerintah ini, menunjukkan keberpihakan yang nyata dengan memberikan kemudahan, dukungan, perlindungan terhadap Koperasi dan UMKM.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai kewenangan KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara sampai dengan penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Persaingan Usaha.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ketentuan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta ketentuan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Pemerintah ini, menunjukkan keberpihakan yang nyata dengan memberikan kemudahan, dukungan, perlindungan terhadap Koperasi dan UMKM.
Kebutuhan Revitalisasi KPPU
Dunia akademis dan para pemerhati persaingan usaha di negeri ini, terutama yang intensif berinteraksi dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPPU, selalu bersinergi dengan KPPU dalam membangun kerja sama untuk mengembangkan dan memperkuat penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Sebagai contoh adalah Hadirnya telah terbentuknya Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) menjadi sebagai mitra strategis bagi KPPU untuk konsisten mengemban dan mempertahankan independensi lembaga dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pada sisi lain, pPara pemerhati persaingan usaha dan para akademisi sangat menyambut gembira perkembangan peran KPPU yang semakin strategis dan hadirnya dukungan pemerintah dalam memberdayakan KPPU.
Pemerintah harus menyadari, dDengan tugas dan wewenang yang diamanatkan dalam dua Undang-Undang tersebutUU No/ 5 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2008 tersebut, maka tuntutan dan tantangan KPPU dalam mengemban amanat jelas terus berkembangmakin berat, baik dari sisi beban kerja/ ataupun volume kerja kegiatan maupun kompleksitas permasalahan yang timbul karena derasnya kemajuan teknologi khususnya dalam perkembangan ekonomi digital. Menunjuk konstatasi yang demikian itu, menjadi logis dan beralasan, revitalisasi sumber daya manusia aparatur KPPU menjadi sesuatu yang urgen dan mendesak dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan kecukupan kapasitasnya, baik dari aspek kredibilitas, maupun akuntabilitas. Hal ini mengingat dalam melaksanakan tugasnya, pegawai KPPU hakekatnya adalah melaksanakan tugas sebagai apa ratur lembaga yang menjadi bagian lembaga negara utama di ranah eksekutif, serta sebagai aparatur lembaga penegak hukum dalam ranah hukum administrasi, sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 85/PUU-XIV/2016 tanggal 20 September 2017 tersebut.
Revitalisasi KPPU jelas menjadi sebuah kebutuhan untuk memperkuat legalitas sumber daya manusia aparaturnya dalam mengemban tugas, sehingga tidak menjadi ganjalan perdebatan dalam proses penegakan hukum persaingan usaha (due process of law) dan sekaligus memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang berperkara. Oleh karena itu pemerintah harus sepenuh hati dalam memberdayakan peran KPPU ini dengan dukungan kapasitas sumber daya manusia aparatur yang memadai dengan mengubah dan memastikan status (hukum) Sekretariat KPPU menjadi Sekretariat Jenderal dan status kepegawaian aparatur KPPU sebagai PNS atau ASN seperti halnya dijumpai pada lembaga negara bantu (state auxiliary organ) lainnya.
*Artikel ditulis oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH.,MH. yang kini menduduki posisi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung.
*** Emil F Simatupang.
from Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life https://ift.tt/3qIY9A4
0 Response to "Revitalisasi Aparatur KPPU Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja"
Post a Comment