Membela Dokter Terawan


JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Kepada seluruh media yang memuat berita vonis IDI terhadap dr Terawan, saya Prof. Otto Cornelis Kaligis melalui surat terbuka ini hendak menyampaikan pendapat saya.

Pertama-tama, saya tegaskan disini saya tidak peduli dengan putusan IDI yang melarang dr Terawan untuk melanjutkan praktiknya. Saya tetap akan berobat ke beliau.


Saya dan anak saya, David Kaligis, adalah satu dari ribuan orang yang pernah diselamatkan oleh metode penyembuhan DSA temuan dr Terawan. Ketika berada di tahanan Guntur, saya sering mengalami sakit kepala yang disertai tensi saya di sekitar 110-200. Berkali-kali saya meminta kepada hakim yang memeriksa saya, agar saya diperiksa oleh dr Terawan. KPK yang sementara menuntut saya, melarang dan lantas merekomendasikan pemeriksaan dilakukan oleh dokter-dokter dari Rumah Sakit Umum Pusat Cipto.


Tim Dokter RSUP Cipto di atas selembar kertas berjudul Pro Justitia, menyimpulkan bahwa tidak ada gangguan kelainan di otak saya alias saya sehat. Pemeriksaan pengadilan terhadap diri saya dapat dilanjutkan.


Ketika saya mendapatkan second opinion para dokter RSUP Cipto dengan judul Pro Justitia, saya menulis surat kepada para dokter yang memeriksa saya, mempertanyakan sejak kapan para dokter yang memberikan second opinion berhak menggunakan Pro Justitia? 


Apakah para dokter selain memberikan second opinion, dapat juga sekaligus bertindak sebagai penyidik? Bukankan dokter tersebut dalam mendeklarasikan dirinya selaku pemeriksa “Pro justitia” telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat dipidana? Sayangnya surat saya itu sama sekali tidak dijawab oleh tim dokter RSUP Cipto.


Ketika KPK pada mulanya “ngotot” agar saya tetap diperiksa Di RSUP Cipto, saya mengerti ada persekongkolan KPK dengan RSUP Cipto, yang menurut saya dapat didikte oleh KPK untuk kepentingan KPK. Untungnya majelis hakim mengabulkan permintaan saya untuk berobat ke RSPAD mengingat tiap saat, saya sebagai pasien, merasakan sakit luar biasa di bagian kepala saya disertai tensi yang tinggi.


Saya pun berontak ketika tengah menjalankan pemeriksaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Beruntung Majelis Hakim akhirnya merujuk pemeriksaan kepala saya ke dr Terawan.


Ditemani oleh Penyidik KPK, saya langsung ditindak oleh dr Terawan, melalui apa yang saya dengar bernama DSA. Metode cuci otak. Sebelum tindakan, tensi saya 115-220, dan pada saat itu penglihatan saya sudah mulai kabur. Sementara tindakan a la metode Terawan berlangsung, dr Terawan melalui video monitor memperlihatkan kepada saya sumbatan aliran darah yang menuju otak. Sumbatan tersebut sudah nencapai hampir 100 persen.


Dalam prosesnya, saya melihat sendiri pembongkaran sumbatan itu. Semua kerak sumbatan syaraf aliran saya yang menuju otak dibersihkan. Tindakan pengobatan selesai hanya dalam tempo beberapa menit dan saya dikembalikan ke kamar untuk beristirahat  kurang lebih enam jam.


Sesudah itu saya pun sembuh total. Tensi saya kembali normal 80-120 dan di saat itu juga saya diperbolehkan kembali ke tahanan Guntur.


Hal serupa dialami pula oleh anak saya David Kaligis, yang di rumah sakit lain tak pernah sembuh. Setelah ditangani dr Terawan, David langsung sembuh dan sampai detik ini tidak pernah mengalami gangguan. Bahkan ketika ditindak, stroke ringan David sembuh total karena metode dr Terawan.


Sekilas mengenai pengalaman saya membongkar kasus kasus malpraktik, silahkan para Dokter IDI membuka google dan lihat kasus malpraktik Adriani Theresia, 27 Januari 1986, yang melibatkan Dokter Anastesi di Rumah Sakit Mata Aini atau kasus Prita melawan RS Omni serta kasus Jared-Jayden juga di RS Omni. 


Tidak ada di antara kasus-kasus yang saya tangani, MKEK atau IDI pernah memvonis mati oknum yang diduga melakukan malpraktik. Oleh karena itu, menurut pengalaman saya sebagai praktisi, putusan vonis IDI masih dapat  dibatalkan.


Ketika saya menangani salah satu kasus sangkaan malpraktik di Sydney, temuan Ikatan Dokter Sydney tidak serta merta dipublikasikan. Temuan mereka diserahkan ke Menteri Kesehatan untuk ditindak lebih lanjut.


Bagi saya, putusan IDI penuh “konflik kepentingan”. Mestinya IDI tidak serta merta memvonis mati dr Terawan. Kandungan vonis tersebut seharusnya mempertimbangkan suara ribuan pasien dr Terawan yang sembuh melalui metode DSA tersebut.


Apakah IDI juga tidak mempertimbangkan hasil disertasi dr Terawan ketika mencapai gelar dr melalui hasil penelitian DSA-nya? Vonis kedengkian IDI terhadap dr Terawan adalah vonis yang kedua. Bahkan saking bencinya media, Mata Najwa pernah mewawancarai dr Terawan melalui kursi kosong.


Mungkin Mata Najwa selaku wartawan, lupa hak jawab di bawah judul “No Comment”. Dr Terawan berhak untuk menolak diwawancarai. Siapa tahu di saat Mata Najwa beraksi mewawancara si kursi kosong itu, yang duduk adalah hantu alias setan.


Sekalipun IDI telah memvonis dr Terawan, saya yakin ribuan pasien yang sembuh melalu metode cuci otaknya akan tetap merekomendasikan para pasien stroke agar berobat ke beliau. Saya yakin para pasien akan tetap menjalani pengobatan DSA tersebut.


Berapa banyak dokter ahli di bawah asuhan dr Terawan yang setiap harinya menjalani tindakan cuci otaknya dr Terawan? Lalu apakah mereka juga dikenakan sanksi pencabutan ijin praktik mereka? Yang pasti keputusan IDI tidak punya kekuatan hukum mengikat yang dapat dieksekusi. 


Saya dan para pasien dr Terawan yang lain akan tetap mendukung praktik beliau dan mengabaikan putusan IDI yang menurut saya tidak obyektif, penuh unsur kebencian dan iri hati, conflict of Interest tanpa mempertimbangkan hasil DSA yang telah menolong ribuan bahkan puluhan ribu pasien.


Kepada yang saya hormati Jenderal Prof. Dr. Terawan, tetap tenang berkarya di dunia kesehatan. Saya yang pernah sembuh melalui DSA akan tetap berobat ke dr Terawan. Kalaupun IDI mencabut ijin praktik Bapak, anggap saja saya berobat ke dukun agung dr Terawan yang telah menyembuhkan banyak pasien.


Mudah mudahan eks pasien dr Terawan punya sikap yang sama dengan saya. Tuhan melindungi Anda. Tetap berkarya dan berjuang demi kesembuhan para pasien melalui metode DSA. Semoga IDI dapat merevisi kembali vonis mereka. Bukan tidak mungkin ada keterlibatan dunia farmasi, karena melalui metode DSA, obat-obatan yang selama ini digunakan untuk kepentingan penyembuhan otak tidak lagi diperlukan.


Hormat saya,


Prof. Otto Cornelis Kaligis. 



(Artikel dimuat sesuai dengan surat terbuka OC Kaligis tertanggal Jumat, 1 April 2022 yang diterima redaksi. Editor: Candra Wibawanti)


 



from Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life https://ift.tt/1pxfqs5

BERLANGGANAN ARTIKEL-ARTIKEL MENARIK LAINNYA

0 Response to "Membela Dokter Terawan"

Post a Comment