Pengacara Lucas Membutuhkan Seorang Hakim yang Berani dan Menggunakan Hati Nurani
![]() |
Prof. Dr. Panca Astawa, S.H., M.H. memberikan keterangan ahlinya di bawah sumpah untuk membebaskan Lucas, Kamis (21/2/2019). |
Begitu juga wajah sumringah majelis hakim yang diketuai hakim senior Tipikor Frangky Tambuun, terlihat ikut tersenyum bahagia karena lebih mendapatkan pencerahan hukum dari seorang ahli Prof.Dr. Panca Astawa, S.H., M.H. yang dikenal sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.
Panca Astawa yang ahli spesialis di bidang disiplin ilmu hukum perundang-undangan itu lebih banyak bersikap rendah hati namun secara gamblang menyebutkan hystoris pasal 21 UU Tipikor yang dijadikan Jaksa pada KPK menjerat pengacara Lucas.
"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pasal 21 ini lebih populer disebut sebagi pasal karet yang sudah lama ditinggalkan sejak tumbangnya Orde Baru. Pasal ini merupakan kekuatan di rezim Presiden Soeharto untuk membungkam para oposan yang mencoba menentang kebijakan Orba. Namun ketika para pembuat UU Tipikor begitu sangat bersemangat dalam upaya pemberantasan korupsi, dimasukan lah pasal 21 ini, padahal yang dimaksud merintangi itu haruslah secara fisik, bukan merupakan obrolan ." kata Panca Astawa, putra terbaik Bali yang kini mengajar dan menetap tinggal di tatar sunda mojang priyangan Bandung itu.
Lebih lanjut Panca menyampaikan pandangannya, bahwa Pasal karet 21 dan seterusnya itu sejatinya bukanlah pasal Tipikor, tetapi merupakan pasal pidana umum, karena yang menyangkut soal pasal tentang korupsi sudah sangat jelas diatur dalam KUHPidana. Apalagi tugas dan fungsi KPK sudah sangat kita pahami batasan wilayah hukumnya.
"Sehingga sangat dibutuhkan keberanian seorang hakim dan dengan mengunakan hati nuraninya untuk mengesampingkan pasal karet 21 dan 25 UU Tipikor yang sangat kontroversi itu." kata Panca Astawa yang membuat pengunjung yang selalu membludak memenuhi ruang persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta tampak puas dan bahagia mendapat pencerahan hukum yang positif.
"Sehingga sangat dibutuhkan keberanian seorang hakim dan dengan mengunakan hati nuraninya untuk mengesampingkan pasal karet 21 dan 25 UU Tipikor yang sangat kontroversi itu." kata Panca Astawa yang membuat pengunjung yang selalu membludak memenuhi ruang persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta tampak puas dan bahagia mendapat pencerahan hukum yang positif.
Sebelumnya Prof. Dr. Mudzakir, S.H., M.H., pakar hukum pidana yang juga dikenal sebagai akademisi yang ikut membidani lahirnya UU Tipikor KPK telah menyampaikan di muka persidangan, bahwa hakim haruslah mengesampingkan keterangan saksi yang berdiri sendiri, dan haruslah lebih meyakini kebenaran para saksi yang sesuai.
Apalagi jika ada seorang saksi memberikan keterangannya di muka persidangan bahwa ada melihat pecahan 500 dolar Singapura, hal itu adalah bohong karena memang tidak ada pecahan 500 dolar Singapura.
Sehingga seorang saksi bernama Dina Soraya sudah sepatutnya diproses hukum karena merupakan saksi palsu yang memberikan ketarangan dibawah sumpah. Apalagi sebelumnya ahli forensik digital Ruby Alamsyah secara tegas menyebutkan bahwa keterangan ahli KPK yang disebut sebagai ahli akustik digital, dan masih menggunakan metode usang yang sudah lama ditingggalkan karena tak masuk akal bisa menganalisa suara identik seseorang melalui proses hanya terdiri dari 3 kata saja, padahal menurut Ruby Alamsyah, ahli yang dihadirkan pengacara Lucas, bahwa forensik digital lebih mengarah ke kegunaan proses hukum, dimana metode yang digunakan untuk menganalisa suara identik seseorang, minimal dibutuhkan 20 kata.
Kesemuanya kembali berpulang kepada hati nurani seorang hakim yang tidak perlu mengikuti jejak rekan hakim lainnya yang telah memutus perkara pasal karet sejenis perintangan yang belakangan dijadikan sebagai senjata ampuh KPK. *** Emil Simatupang.
Apalagi jika ada seorang saksi memberikan keterangannya di muka persidangan bahwa ada melihat pecahan 500 dolar Singapura, hal itu adalah bohong karena memang tidak ada pecahan 500 dolar Singapura.
Sehingga seorang saksi bernama Dina Soraya sudah sepatutnya diproses hukum karena merupakan saksi palsu yang memberikan ketarangan dibawah sumpah. Apalagi sebelumnya ahli forensik digital Ruby Alamsyah secara tegas menyebutkan bahwa keterangan ahli KPK yang disebut sebagai ahli akustik digital, dan masih menggunakan metode usang yang sudah lama ditingggalkan karena tak masuk akal bisa menganalisa suara identik seseorang melalui proses hanya terdiri dari 3 kata saja, padahal menurut Ruby Alamsyah, ahli yang dihadirkan pengacara Lucas, bahwa forensik digital lebih mengarah ke kegunaan proses hukum, dimana metode yang digunakan untuk menganalisa suara identik seseorang, minimal dibutuhkan 20 kata.
Kesemuanya kembali berpulang kepada hati nurani seorang hakim yang tidak perlu mengikuti jejak rekan hakim lainnya yang telah memutus perkara pasal karet sejenis perintangan yang belakangan dijadikan sebagai senjata ampuh KPK. *** Emil Simatupang.
from Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life https://ift.tt/2Eor73r
0 Response to "Pengacara Lucas Membutuhkan Seorang Hakim yang Berani dan Menggunakan Hati Nurani"
Post a Comment